Jumat, 25 Januari 2008

Review buku The Time Traveler's Wife


Di posting kali ini gue ingin mencoba kemampuan gue dalam me-review buku. Dan buku pertama yang gue pilih untuk jadi kelinci percobaan gue adalah novel The Time Traveler’s Wife karangan Audrey Niffenegger. Kenapa buku ini? Karena gue suka banget buku ini. I cried like a baby when i read this novel.


Okay, here we goes...

Novel The Time Traveler’s Wife menceritakan tentang perjalanan kisah cinta antara Henry DeTamble dan Clare Abshire. Tapi jangan harap kalian akan menemukan kisah cinta yang ‘biasa’, karena dalam novel ini kita akan terbawa untuk menyelami fantasi sang penulis yang terasa sangat nyata. Kenapa? Karena Henry adalah manusia yang spesial. Henry mempunyai ‘kemampuan’ untuk berpindah waktu entah itu ke masa lalu ataupun ke masa depan dalam rentang waktu 50 tahun ke masing-masing arah.

Dia tidak dapat mengontrol ataupun memperkirakan kapan dan dimana dia akan menjelajahi waktu. Kau sedang menonton TV blast! Kau muncul telanjang bulat di tengah padang rumput 10 tahun yang lalu. Begitulah kira-kira.

Ketika sedang menjelajahi waktu ke masa lalu inilah saat Clare yang masih berusia 6 tahun bertemu pertama kali dengan Henry yang saat itu telah berusia 36 tahun. Tapi bukan pada saat itulah Henry pertama kali bertemu dengan Clare. Ia pertama kali bertemu dengan Clare pada saat usianya 28 tahun dan ia tidak sedang menjelajahi waktu.

Bisakah kalian melihat sesuatu dari ini?

Ya, berarti, saat Clare pertama kali bertemu dengan Henry, justru Henry saat itu telah mengenal Clare sebagai istrinya tercinta. Dan saat Henry pertama kali bertemu dengan Clare, Clare justru telah mengenal Henry hampir seluruh hidupnya sejak ia berusia 6 tahun. Itulah salah satu keindahan yang ditawarkan oleh Niffeneger. Dan gue jatuh cinta dengan novel ini. Selamanya.

Bukan hanya jalan ceritanya yang abu-abu, alias tidak nyata sekaligus terasa begitu nyata, tapi juga gaya penulisannya yang sangat mengalir hingga alur yang sebenarnya mungkin agak berat jadi terasa ringan. Ringan tapi sekaligus menghanyutkan. Gue rasa mungkin selain jatuh cinta dengan novel ini, gue juga sempat jatuh cinta dengan Henry. Atau mungkin lebih tepatnya gue jatuh cinta dengan kisah cinta Henry dan Clare.

Buat pembaca yang belum membaca novel ini, gue sangat merekomendasikan novel ini. Jangan khawatir, novel ini gak akan menyuguhkan kisah cinta yang mendayu-dayu berlebihan ataupun dunia fantasi seperti novel-novel Roald Dahl. Gue janji, novel ini gak begitu.

Bahkan biarpun lo cowok, gue janji, novel ini gak cengeng.

Oia, kembali ke masalah novel. Satu lagi keindahan yang bikin gue jatuh cinta dari novel ini. Ending-nya. Lagi-lagi gue hanya bisa menyebut akhir dari novel ini sebagai ‘abu-abu’. Karena setelah gue pikir-pikir, akhir novel ini sebenarnya gak happy ending, tapi entah kenapa, gue merasa kalo ITU adalah akhir yang...mm, apa yah, memuaskan.

Yah, singkatnya, gue sangat merekomendasikan novel ini bagi kalian yang mau SEDIKIT bersusah-susah membaca buku yang agak lebih tebal dari 200 halaman. Tapi gue jamin, novel ini bukan novel KOSONG. Lo bakal merasakan SESUATU dalam hati lo setelah baca novel ini, gue gak tau apa, but there IS something.

Berikut gue cantumin cuplikan dari novel ini...

...Bagaimana rasanya? Bagaimana rasanya?

Terkadang rasanya seakan perhatianmu mengembara sejenak. Kemudian dengan tekejut kau menyadari buku yang kau pegang, kemeja katun kotak-kotak merah berkancing putih, celana jins hitam kesayangan, dan kaus kaki merah tua yang salah satu tumitnya nyaris berlubang, ruang tamu, teko teh yang hampir bersiul mendidih di dapur : semuanya menghilang. Kau berdiri, telanjang bulat, terendam air es sampai pergelangan kaki di selokan di sepanjang jalan pedesaan yang tak dikenal...

Dan ini salah satu bagian yang gue suka...

...dan Clare. Selalu Clare. Clare di pagi hari, mengantuk dan berwajah kusut.Clare dengan kedua lengan tenggelam dalam tong pembuatan kertas,menarik cetakan dan menggoyang-goyangnya sedemikian rupa,untu menyatukan serat-seratnya. Clare membaca, dengan rambut tergerai di balik kursi. Clare memijatkan salep pada kedua tangannya yang merah dan pecah-pecah sebelum tidur. Suara rendah Clare sering terdengar di telingaku.

Aku benci berada di tempat ia tak ada, di saat ia tak ada. Tetapi aku selalu pergi dan ia tak bisa menyusul.

Tidak ada komentar: